Saya “gak suka” puisi dan pantun. Sayangnya pertemuan NBS kali ini adalah adalah menuliskan puisi/pantun. hari ini giliranku untuk menjadi penanggung jawab. Kesibukan lain yang juga menyita perhatian semakin membuatku panik karena tidak sempat menyiapkan materi. Saya memohon bantuan kepada kordinatorku di Tim A kak ica untuk “berjaga-jaga” dengan ketidaksiapanku. “apami kuajarkan adek-adek ini, ca? nda kusuka puisi puisian” keluhku.
Sibuk, panas, masuk siang pula. “sedang tidak mood” sebagai kalimat andalan. Jika bukan karena peran tanggung jawab mungkin saya bisa membuat alasan untuk tidak hadir. Tiba di sekolah, saya telah terbantu oleh kak ustri yang dihadirkan ica untuk gabung namun “dijebak” untuk menggantikanku menjelaskan. Membuka kelas dengan sedikit lalala yeyeye dan meninggalkan ruangan.
Kami memperhatikan bagaimana adik-adik merespon cara mengajar kak ustri. mereka terlihat lebih tenang meski banyak yang tidak memperhatikan. Sepertinya memang ada pengaruh pembawaan seseorang dalam mengajar. kak ustri lebih tenang dan bersuara kecil (tentu saja tidak seperti kami). Seolah membiarkan, saya bersama ica dan ifa menyempatkan selfie sejenak. Baru saja mengambil satu gambar, terdengar suara dari dalam kelas “iih foto selfieki’” sahut seorang adik. “oke, masuk kelas dan hadapi!” kataku dalam hati. Merasa bersalah telah membiarkan kak ustri mengisi kelas sendiri, kami kemudian masuk di kelas.
Benar saja ketika masuk kelas suasana berubah. Teriakan, pertanyan, kegaduhan bermunculan. Menjengkelkan sih, tapi sejujurnya ini yang selalu dirindukan ditiap pekannya. Langsung saja kami mengambil alih ruangan. Kami membagi mereka pertim (saya menilai ini lebih efektif menghandle mereka secara berjamaah berbekal pengalaman dipertemuan sebelumnya). Mereka dibagi kedalam tiga tim besar berdasarkan deretan tempat duduk. Maka terbentuklah tiga tim, tim 1 (tim gaul), tim 2 (tim smile) dan tim 3 (tim Hardcore). “Ada ada saja ide nama mereka” pikirku. Tugas tim adalah menjaga satu sama lain agar tidak melanggar peraturan yang telah kami sepakati bersama di kelas. Terbukti efektif karena mereka yang saling menegur satu sama lain jika melanggar. Tentu saja ada point yang akan mereka kejar dan itu nilai sebuah tim.
Setelah pembagian tim saya mencoba melemparkan pertanyaan ”ada yang tahu apa itu pantun?” tiba tiba rifadly berteriak “ikan hiu makan ubi, I love you bertubi tubi” diikuti suara tawa kami dan teman-temannya. “its gonna be fun!” pikirku bersemangat. Memberikan waktu 45 menit untuk tiap tim menyiapkan pantun sebanyak banyaknya yang nanti akan mereka gunakan tuk saling melempar pantun. Kehadiran kawan-kawan icha di kelas cukup membantu kami menghandle pertanyaan adik-adik. Ruang kelas sudah seperti sauna sejuknya. Saling berebutan oksigen sehingga saya sesekali keluar kelar untuk mencari udara.
Ada suara rusuh di kelas saat aku diluar. Adik Rafly terlihat menangis dan hendak memukul Fatir. Demi kenyamanan kelas, kuamankan ia dan mengajaknya berbicara sejenak diluar. *Sedikit berbagi tips jika ingin berbicara dengan anak agar ia mau mendengarkan (berdasarkan hasil observasi dan teori yang kulahap untuk sebuah gelar dibelakang nama). Rendahkan badanmu (seukuran dengannya), tatap matanya, dengarkan pendapatnya dan jangan potong pembicaraannya. Setelah mendengarkan alasan ia menangis dan marah, kemudian tawarkan apakah ia mau memaafkan atau tidak. Jika tidak, silahkan tawar menawar solusi. Setelah ada kesepakatan, panggil teman berkelahinya. Lakukan hal yang sama dan pastikan mereka bersalaman. Berikan tepukan di tangan “ces” juga pujian pada keduanya setelah mereka melakukan perdamaian. Budaya memaafkan memang perlu ditanamkan sejak dini karena merekalah yang kelak akan mendamaikan dunia (Harapan seorang kakak).
Setelah aman dan kedua anak berdamai, saya ikut masuk kembali ke kelas bersama mereka. Mendampingi, membujuk dan memastikan adik-adik terlibat dalam kerja tim kami lakukan. Luar biasa, adik-adik mampu bekerja sama dengan baik dan menghasilkan banyak karya hingga tak semua pantun bisa dibacakan. rasanya puas dan bahagia melihat adik-adik yang selama ini didampingi mau “bergerak” juga. Seperti adik fahmi misalnya. Hampir ditiap pertemuan rasanya ia tidak pernah mau mengikuti apa yang kami arahkan. Dan kali ini ia akhirnya mau membuat pantun dan itu untukku. Sayang isinya tidak manis, tapi dengan ia mau menulis sudah menjadi kado tersendiri bagiku.
“burung perkutut, burung kutilang.
kak fany kentut gak bilang-bilang.”
ya salam, adikku 🙂